Atas Permintaan IMF, World Bank dan ILO

Posted on Jumat, 31 Desember 2010 and filed under . You can follow any responses to this entry through theRSS 2.0 . You can leave a response or trackback to this entry from your site


Indonesia Laksanakan Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing


Jakarta, Dinamika Buruh –Praktek PKWT dan outsourcing merupakan wujud dari kebijakan Pasar Kerja Fleksibel yang dimintakan kepada pemerintah Indonesia oleh IMF (International Monetary Fund), World Bank dan ILO (International Labour Organisation) sebagai syarat pemberian bantuan untuk menangani krisis ekonomi.

Kebijakan Pasar Kerja Fleksibel merupakan salah satu konsep kunci dari kebijakan perbaikan iklim investasi yang juga disyaratkan oleh IMF butir 37 dan 42. Kesepakatan dengan IMF tersebut menjadi acuan dasar bagi penyusunan rangkaian kebijakan dan peraturan perbaikan iklim investasi dan fleksibelitas tenaga kerja.

Hal itu terungkap dari hasil studi mengenai Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal di Indonesia yang dilakukan oleh Akatiga-Pusat Analisis Sosial yang bermarkas di Bandung dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung (FES). Pemaparannya dilakukan dalam sebuah workshop di Hotel Santika Jakarta beberapa waktu yang lalu.

Menurut hasil penelitian itu, pemberlakuan praktek kerja kontrak dan outsourcing yang jadi pesanan dan kehendak pihak asing sebagai bentuk intervensi penentuan kebijakan pemerintah RI antara lain meliputi : UU 13/2003 pasal 59 mengenai PKWT dan pasal 64-66 mengenai outsourcing, Kepmen 101/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan PKWT, Kepmen 101/2004 tentang Tata cara perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Buruh, Kepmen 220/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, Dokumen RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2004-2009 Bab 23 tentang Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan yang diajukan untuk menciptakan lapangan kerja formal dan meningkatkan produktivitas pekerja dengan cara memperbaiki aturan main ketenagakerjaan berkaitan dengan rekrutmen, outsourcing, pengupahan, PHK dan perlindungan terhadap buruh yang berlebihan, Inpres no 3/2006 tentang paket kebijakan Perbaikan Iklim Investasi paket ke-4 mengenai Ketenagakerjaan dalam kebijakan Menciptakan Iklim Hubungan Industrial yang Mendukung Perluasan Lapangan Kerja, Permen 22/2009 tentang Penyelenggaraan Permagangan di Dalam Negeri dan, Inpres no. 1/2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional prioritas ke-7 program Sikronisasi Kebijakan Ketenagakerjaan dan Iklim Usaha

Praktek hubungan kerja kontrak dan outsourcing yang semakin meluas, memperlihatkan dampak yang merugikan buruh. Kebijakan pasaran kerja fleksibel perlu dipahami karena tidak hanya membawa dampak bagi buruh dan serikatnya, tetapi juga membawa implikasi lebih luas terhadap permasalahan-permasalahan ketenangakerjaan dan problem sosial yang mengikutinya.

Bergolaknya kaum buruh seantero tanah air menolak revisi Undang-undang nomor 13 tahun 2003 yang akan lebih merugikan dan menjadi malapetaka bagi kaum buruh, harus diperhitungkan oleh pemerintah, karena kaum buruh akan terus melawan sebagai mana diperlihatkan dalam puluhan ribu kaum buruh mengepung Istana pada tanggal 20 Nopember 2010. Yang paling urgen saat ini kaum buruh mendesak disahkannya RUU BPJS menjadi Undang-undang.


Pelanggaran Peraturan
Pelanggaran peraturan mengenai pelaksanaan hubungan kerja kontrak dan outsourcing terjadi dalam berbagai bentuk. Dalam hubungan kerja kontrak, perpanjangan masa kontrak dilakukan lebih dari 2 kali dan dalam beberapa kasus kontrak diperpanjang hingga belasan kali, sementara UU 13/2003 ps 59:4 mengenai perjanjian kerja waktu tertentu – PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Mengenai outsourcing tenaga kerja, meskipun UU 13/2003 pasal 66:1 menyatakan bahwa Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, praktek yang umum adalah bahwa buruh outsourcing juga digunakan di bagian yang berkaitan langsung dengan proses produksi sebagai operator. Pelanggaran juga terjadi pada agen penyalur tenaga kerja yang beroperasi yang tidak hanya berbadan hukum PT dan Koperasi sebagaimana ditetapkan oleh Kepmen 101/2004 pasal 2(a), melainkan juga CV, yayasan dan lembaga pendidikan.

Berkatain dengan penggunaan tenaga outsourcing, pelanggaran massal juga terjadi pada Kepmen 220/2004 pasal 6 : 2 dan 3 yang menetapkan bahwa (6:2). Perusahaan pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan pemborong pekerjaan wajib membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan dan (6:3). Berdasarkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) perusahaan pemberi pekerjaan menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan penunjang berdasarkan ketentuan ayat (1) serta melaporkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. Jarang sekali perusahaan yang melakukan outsourcing tenaga kerja membuat dan menyerahkan alur porses kerja dan melaporkannya pada disnakertrans setempat.
Lemahnya pengawasan oleh aparat disnakertrans menjadi keluhan buruh, Serikat pekerja/buruh dan pengusaha dan diakui sendiri oleh aparat dan instansi yang bersangkutan. Perbandingan jumlah pengawas dengan jumlah perusahaan selalu sangat timpang dan sejak otonomi daerah pegawai pengawas juga direkrut dari dinas atau biro-biro lain di lingkungan pemerintah daerah misalnya dari Satpol Pamong Praja, mantra pasar, dinas peternakan, dinas pertamanan, inspektur dan sebagainya. Pengalokasian dana untuk pelatihan pegawai pengawas sering bukan menjadi prioritas anggaran daerah.
Merugikan Buruh

Praktek hubungan kerja kontrak dan outsourcing yang ditemukan dalam penelitian ini mencermin-kan esensi atau ciri dari praktek outsourcing yang lebih merugikan buruh dan menguntungkan perusahaan. Kondisi yang merugikan buruh semakin dimungkinkan karena (1) arah kebijakan pemerintah yang berorientasi pada investasi dan melonggarkan prinsip dan mekanisme melindungi buruh; (2) faktor regulasi dalam bentuk UU dan peraturan yang dibuat bersifat sangat terbuka untuk keragaman tafsiran, (3) penegakan hukum yang amat lemah, (4) minimnya mutu dan jumlah aparat disnakertrans, (5) ketidakseimbangan posisi tawar antara serikat buruh dengan perusahaan dan (6) belum ditetapkannya jaminan sosial sebagai alat untuk melindungi buruh dalam kerangka kebijakan pasar kerja fleksibel. (db002)

0 Responses for “ Atas Permintaan IMF, World Bank dan ILO”

Leave a Reply

Recently Commented

Recent Entries

Photo Gallery